Cegah Kekerasan Perempuan dan Anak, Pemprov Jateng Sinergi dengan Paralegal Muslimat NU
- Rizky Adam
Jateng – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggandeng para relawan paralegal Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) guna menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayahnya. Sudah ada sebanyak 90 orang relawan di bawah naungan Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah telah dikukuhkan menjadi paralegal.
Para relawan tersebut akan bertugas memberikan pendampingan hukum dan psikososial kepada perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.
“Kami senang, Pemprov Jateng saat ini sudah melakukan MoU dengan Muslimat NU. Ini bentuk sinergi yang penting,” kata Wakil Gubernur Jateng, Taj Yasin saat memberikan sambutan pada acara peluncuran program Relawan Paralegal Muslimat NU di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Semarang, Minggu 20 April 2025.
Ia juga menyambut baik inisiatif program tersebut. Sebab, hal itu sejalan dengan visinya bersama Gubernur Ahmad Luthfi melalui program Kecamatan Berdaya. “Lima tahun ke depan, kami memiliki program Kecamatan Berdaya yang menyasar perlindungan dan pemberdayaan perempuan, anak, dan disabilitas,” kata Taj Yasin.
Menurut dia, program ini dinilai menjadi langkah strategis dalam upaya menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih tinggi. Sebab, Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), korban kekerasan terhadap perempuan di Jateng meningkat dari 939 kasus pada 2022 menjadi 1.019 pada 2024. Sementara korban anak naik dari 1.214 menjadi 1.349 kasus di periode yang sama.
Bentuk kekerasan paling dominan adalah fisik pada perempuan (41,3%) dan seksual pada anak (46,6%). Oleh karenanya, menurut Taj Yasin, peran relawan paralegal menjadi sangat penting untuk mendampingi korban, tidak hanya dari sisi hukum, tetapi juga sosial, ekonomi, dan pendidikan. Ia menyoroti masih adanya budaya “pekewuh” atau sungkan di masyarakat, yang membuat korban kekerasan enggan melapor.
Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, begitu pentingnya partisipasi masyarakat dalam menangani persoalan kekerasan yang terus meningkat. Ia menyebutkan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dan 51 persen anak usia 13–17 tahun mengaku pernah menjadi korban, terutama di lingkungan keluarga. Ia pun berharap Jawa Tengah bisa menjadi percontohan nasional dalam penanganan kekerasan secara terpadu hingga ke tingkat desa.
“Saya percaya, kekuatan untuk mencegah kekerasan tidak hanya datang dari pemerintah. Masyarakat, termasuk organisasi seperti Muslimat NU, adalah pilar utama,” ucapnya.