Polemik Kuota Haji 2024, Benarkah Melanggar Konsitusi ?
- Istimewa
Kemenag melakukan kajian intensif untuk mengelola kuota tambahan 20.000 jemaah. Setelah dianalisis, tidak semua kuota tambahan dapat ditempatkan di zona 3 dan 4 yang sudah padat. Dari sinilah muncul gagasan untuk mengalokasikan kuota tambahan ke Zona 2 yang masih relatif kosong, namun dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Karena Bipih jemaah haji reguler tidak mencukupi untuk zona tersebut, alokasi ini diputuskan untuk haji khusus.
Hilman Latief menyatakan, bahwa Kemenag telah berupaya mengomunikasikan dinamika ini kepada Komisi VIII sejak Januari 2024 melalui surat resmi. Namun, komunikasi formal dalam bentuk rapat kerja terhambat oleh situasi politik nasional yang sedang fokus pada Pilpres 2024. Sebagai langkah administratif untuk merespons perubahan dari Arab Saudi, Kemenag menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 pada 29 Januari 2024. SK ini mengatur Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan.
Di dalam SK ini, kuota haji khusus ditetapkan sebanyak 17.680 dan kuota haji khusus tambahan sebanyak 10.000, yang diambil dari kuota tambahan 20.000 jemaah secara keseluruhan. Tantangan dan Capaian Kinerja Haji 2024 Penyelenggaraan haji 2024 tidak hanya berhadapan dengan perubahan regulasi, tetapi juga tantangan eksternal dan internal yang kompleks. Faktor eksternal seperti cuaca panas ekstrem di Tanah Suci dan perubahan kebijakan zonasi menjadi isu utama.
Sementara itu, faktor internal seperti fokus pemerintah pada Pilpres 2024 membuat perhatian dan sumber daya terpecah. Di tengah semua tantangan ini, Kemenag berhasil mencatatkan capaian penting, yaitu penurunan angka kematian jemaah secara signifikan. Hingga hari ke-44 penyelenggaraan haji 2024, jumlah jemaah Indonesia yang meninggal mencapai 276 orang. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2023 yang mencatatkan 773 kasus kematian, menjadikannya rekor terendah sejak 2015. Ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi tantangan regulasi, Kemenag tetap berhasil meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan jemaah.
Analisis Kewenangan dan Diskresi Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2019, Menteri Agama memiliki kewenangan administratif untuk menetapkan kebijakan teknis operasional haji sesuai kondisi yang berkembang. Keputusan yang diambil Kemenag dapat dianggap sebagai bentuk diskresi, yaitu kebebasan pejabat publik untuk membuat keputusan di mana peraturan yang ada tidak memberikan panduan yang cukup.
Dalam hal ini, diskresi tersebut digunakan untuk menanggapi perubahan kebijakan zonasi yang tidak terduga dari Arab Saudi. Menurut teori hierarki peraturan perundang-undangan, sebuah keputusan di tingkat bawah (SK Dirjen) tetap sah selama tidak bertentangan dengan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (Keppres). Dalam kasus ini, SK Dirjen berfungsi sebagai pedoman teknis operasional yang diperlukan untuk mengimplementasikan penyelenggaraan haji di tengah tantangan baru, tanpa mengubah esensi dari Keppres itu sendiri.
Pelaksanaan ini juga didukung oleh prinsip good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Kemenag telah melakukan upaya komunikasi, meskipun mungkin belum sepenuhnya sempurna, untuk memastikan keputusan dapat dipertanggungjawabkan. Penting untuk dicatat bahwa masalah serupa juga dialami oleh negara-negara lain, seperti India, Gambia, Nigeria, dan Malaysia, yang juga berjuang menyesuaikan diri dengan kebijakan zonasi baru di Mina. Hal ini memperkuat pandangan bahwa isu yang terjadi bukanlah akibat dari kelalaian Kemenag semata, melainkan tantangan global yang memerlukan penyesuaian cepat dan strategis.